Sejarah berdirinya kerajaan Buton hingga pengangkatan rajanya dinilai masih menarik.
REPUBLIKA.CO.ID, KENDARI -- Seminar sejarah dan kebudayaan Buton menarik bagi peneliti dari berbagai univeritas baik lokal maupun dari luar Sulawesi Tenggara. Selain unik, mendidik, wilayah ini memiliki benteng terluas di dunia serta sejarah kerajaan hingga masuknya Islam di daerah itu.
Prof Dr. La Niampe, pakar naskah kuno dan juga ahli budayawan dari Universitas Haluoleo (UHO) mengatakan, sejarah Buton bila ditinjau dari aspek kultural banyak menantang bagi para peneliti terutama dari luar Buton. Hal itu diungkapkannya saat membawakan materi pada seminar sejarah dan budaya Buton yang diselenggarakan UPTD Museum dan Taman Budaya Dinas Pendidikan dan kebudayaan Sultra, Senin (1/7).
La Niampe mengatakan, kalangan akademisi dari luar Sultra banyak melakukan penelitian di Buton karena di wilayah itu memiliki berbagai historis yang tidak dimiliki kabupaten lain di Sultra. Sebut saja bahasa bahasanya ternyata banyak juga ditemui peninggalan tradisional yang mirip dengan bahasa Korea Selatan.
"Yang anehnya sekarang adalah masyarakat Buton sendiri, justru banyak yang sudah menghilangkan identitasnya sebagai orang Buton, sehingga tidak heran bila banyak di antara mereka tidak lagi mengenal dan mengetahui asal usul leluhurnya yang sebenarnya," ujarnya.
Sejarah berdirinya kerajaan Buton hingga pengangkatan Rajanya dari raja Wakaka sampai dengan Sultan, kata Prof La Niampe, hingga kini masih menjadi menarik dan ''diburu'' para sejarawan untuk memperkaya pengetahuan di bidang kebudayaan. Sebab berdasarkan catatan sejarah ada 70 kerajaan di Indonesia asal mula dari kerajaan melayu.
Sebanyak 40 kerajaan itu ada di Sumatera dan Jawa, 10 di antaranya ada di kalimantan, empat kerjaaan ada di Sulawesi (kerjaan Gowa, Luwuk, Bone dan Buton) serta satu kerjaaan di Ternate dan masing-masing satu kerajaan ada di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Brunai, dan Singapura.
Hal senada diungkapkan dua narasumber lainnya yakni Dr.Aslim M,Hum yang mengangkat terkait sejarah Buton dalam metodologi strukturis anatomi keruntuhan Kesultanan Buton pada 1960 dan Dr La Janu yang mengangkat tentang pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Kesultanan Buton.
Ia mengatakan, sistim pemerintahan saat kesultanan Buton bercirikan aturan pembagian kekuasaan yang luas antara ''Kaomu'' dan ''Walaka''.
Kedua lapisan masyarakat itu merupakan satu kesatauan yang berbeda dengan kaum papara (rakyat biasa). Dengan demikian, kekuasaan saat ini didasrkan atas prinsip keseimbangan meskipun dalam kenyataan sosial politik tidak bisa dipungkiri golongan Kaomu lebih tinggi daripada Walaka.
Kegiatan seminar sejarah budaya Buton yang diselenggarakan UPTD Museum dan Taman Budaya, juga sebelumnya telah diseminarkan terkait sejarah dan budaya Muna, Tolaki dan Moronene yang merupakan akumulasi kebudayaan terbesar di Sultra selain suku dan penduduk pendatang lainnya yang mendiami jasirah Sulawesi Tenggara seperti Bugis-Makassar, Jawa, Bali sumatera dan Kalimantan yang tersebar di 15 kabupaten dan dua kota di Sultra.
sumber : Antara