SEJARAH SINGKAT ASAL MULA NATUNA
Pada abat ke -7 di belahan Barat Nusantara berdirilah kerajaan Maritim Sriwijaya dengan armada dagang yang menguasai jalur-jalur pelayaran sebelah Utara melalui Laut Cina Selatan, sebelah barat melalui Selat Malaka dan sebelah Timur menguasai Laut Jawa.Seorang pendeta Cina yang bernama I TSING pada tahun 671 Masehi singgah di Kerajaan Sriwijaya memberitakan tentang perjalanannya ke Sriwijaya dalam bukunya :“ Ta,t ang yu ku fa kao seng chouan dan nan hai ki ko usi ne chouan “. (Footnok) Diantaranya mengisahkan perjalanan laut I TSING di laut Cina Selatan telah singgah di Gugusan pulau-pulau, ada yang besar ada yang kecil. Pulau Besar dalam bahasanya disebut NAN TOA. Sedangkan “NAN” berarti Pulau, dan “TOA” berarti Besar, jadi artinya adalah “PULAU BESAR”. Bermula dari sebutan “NAN TOA” inilah Sejarah Natuna berawal.
Setelah mengalami pasang surut kerajaan Sriwijaya mundur dan diganti oleh Kerajaan Majapahit di tanah Jawa. Seluruh kepulauan Nusantara takluk kepada kerajaan Majapahit dan tak luput pula kepulauan “PULAU BESAR” (Natuna sekarang). Pelaut-pelaut Majapajit dalam perjalanannya ke negeri Cina, Siam, Campa, Kamboja dan Annam (Vietnam) selalu menyinggahi “PULAU BESAR” (Natuna sekarang) baik waktu pulang maupun pergi untuk keperluan menambah perbekalan air dan menunggu angin kencang mereda. Pada waktu itu Gugusan “PULAU BESAR” (Natuna sekarang) merupakan pulau yang berhutan lebat, banyak terdapat burung-burung Serindit, sejenis burung Bayan/ Kakatua yang kecil. Oleh karena itulah “PULAU BESAR” (Natuna sekarang) berubah sebutan menjadi atau diganti nama menjadi “PULAU SERINDIT” (Natuna sekarang). Di pulau ini di beberapa tempat telah ada penghuninya antara lain Segeram, Seluan dan Setahas.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis Putra Sultan Mahmud Syah I yaitu Sultan Allaudin Riayat Syah mendirikan Kerajaan Johor pada tahun 1530-1564 M merupakan kelanjutan dari Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahan beliau menempatkan atau menganngkat Datuk Kaya – Datuk Kaya sebagai wakilnya di “PULAU SERINDIT” (Natuna sekarang) yaitu:
1. Pulau-pulau Jemaja – Datok Amar Lela
2. Pulau-pulau Siantan – Datok Kaya Dewa Perkasa
3. Pulau Serindit ( Kemudian Pulau Bunguran ) – Datuk Kaya Inddra Pahlawan
4. Pulau Sabda (Kemudian Tambelan)-Datuk Kaya Timbalan Siamah.
Pada masa Pemerintahan Sultan Allauddin Riayat Syah III (Th. 1597-1655 M) memerintah di Johor, menurut kisahnya Sultan Johor ini mempunyai seorang Putri yang bernama “ENGKU PATIMAH” yang sejak kecilnya mengidap sakit lumpuh dan tidak dapat berjalan. Oleh karena sultan merasa malu, maka Sultan mengambil keputusan untuk membuang putrinya.Secara diam-diam memang sudah dipersiapkan oleh pihak Istana Johor untuk kelengkapan keberangkatan yaitu 7 buah Pejajap (Perahu) dengan segala perlengkapannya, termasuk pengawal serta Inang dayangnya yang kesemuanya berjumlah 40 orang. Setelah persiapan rampung maka bertolaklah Sang Putri ENGKU FATIMAH dengan dibekali sebuah “MAHKOTA”.Setelah berhari mengarungi laut tanpa tujuan sampailah iring-iringan PUTRI ENGKU FATIMAH itu di pulau-pulau Siantan dan mereka mengambil kesempatan untuk beristirahat di pulau-pulau tersebut. Setelah selesai beristirahat mereka segera melanjutkan perjalanannya. Berhari-hari mereka mengarungi lautan dan sampailah iring-iringan PUTRI ENGKU FATIMAH di Tanjung Galing Pulau Sabangmawang. Setelah melihat tempat untuk bermukim kurang memuaskan, mereka memutuskan untuk melanjutkan pelayaran ke Segeram.
Akhirnya iring-iringan PUTRI ENGKU FATIMAH terdampar di Kukup (Pulau Pasir) atau Jalik di Muara Sungai Segeram. Dan dari sini mudiklah penjajap-penjajap itu masuk ke Sungai Segeram dan berlabuh dekat suatu perkampungan. Mendengar ketibaan ENGKU FATIMAH Putri dari Sultan Johor di Pulau Srindit, maka “DATUK KAYA INDRA PAHLAWAN” berdatang sembah. Mengingat kedatangan sang putri membawa Mahkota Kerajaan yang memerintah dari Sultan Johor, maka dengan senang hati Datuk Kaya Indra Pahlawan menyerahkan kekuasaan Sang putri. Penyerahan itu diterima pula dengan senang hati oleh Putri Engku Patimah serta mengajak rakyatnya membangun pemerintahan yang baru.
Sekitar tahun 1610 Masehi kedatangan Engku Fatimah di “PULAU SERINDIT” (Natuna sekarang) menurut sejarah, di Segeram ada seseorang yang di gelari “DEMANG MEGAT”, yang mana asal usul sebenarnya tidaklah diketahui dengan pasti.Alkisah menceritakan DEMANG MEGAT ini adalah seorang yang hanyut diatas rakit Buluh Betung atau Aur, dan rakit tersebut hanyut di bawa arus dan masuk ke Sungai Segeram. Di pinggiran Sungai Segeram banyak terdapat Batang Laning dan rakit tersebut sangkut diantara sela-sela kayu, dan dari situlah DEMANG MEGAT berjangkit-jangkit naik ke darat. Tubuh Megat berbulu didadanya dan tidak berpakaian sebagaimana layaknya.Maka bertemulah rombongan Engku Fatimah dengan DEMANG MEGAT di Daerah Segeram tersebut. Pada pertemuan ini DEMANG MEGAT diajak berbahasa Melayu tetapi ia tidak mengerti bahasa Melayu, rupanya DEMANG MEGAT hanya bisa berbahasa Siam dan beragama Budha. kemudian DEMANG MEGAT di Islamkan oleh para pengikut Putri Engku Patimah serta dikawinkan dengan Tengku Fatimah dengan tidak ada kemalangan apa-apa. Dalam upacara perkawinan itu Megat diberi gelar “ ORANG KAYA SERINDIT DINA MAHKOTA “. Adapun maksud dari kata DINA adalah berasal dari keadaan di Engku Fatimah sendiri yang merasa dirinya Hina Dina karena cacat lumpuh serta dibuang oleh ayahandanya Sultan ke PULAU SERINDIT yang jauh dengan dibekali sebuah “MAHKOTA KERAJAAN”.
Maka sekitar tahun 1610 Masehi sejak kedatangan Engku Fatimah ke PULAU SERINDIT, dan setelah Megat bergelar “ORANG KAYA SERINDIT DINA MAHKOTA”, mulailah PULAU SERINDIT berperintahan sendiri dari Kerajaan Johor atas kuasa Engku Fatimah yang berpusat di Segeram. Megat memerintahkan rakyatnya membuat sebuah Mahligai tempat bersemayam Engku Fatimah. Mahligai dibuat dari bahan KAYU BUNGUR, maka dari nama KAYU BUNGUR inilah PULAU SERINDIT berganti nama menjadi “PULAU BUNGURAN”.
Berawal dari kebiasaan Pendeta Cina I TSING menyebut Pulau Besar dengan sebutan NAN TOA, “NAN” artinya Pulau, dan “TOA” artinya Besar, inilah kebiasaan berawal. Kebiasaan lidah orang Melayu, NAN TOA ini pun berubah sebutan menjadi “NATUNA” hingga sekarang.
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna